Jumat, 05 Juni 2009

Doraemon........







Gambar Kesukaanku....







Kartunku.......





Kamis, 04 Juni 2009

Sebagai Sahabat


ENTAH! Mungkin itu jawabku, jika ditanya kapan luka akibat kepergian Wilo, terlupakan di hatiku. Ya, terlupakan! Karena dulu aku mengangapnya sembuh, namun kini luka lagi. Dengan perih yang sama, sakit yang serupa!
Tak salah jika waktu adalah obat paling mujarab, terampuh untuk merawat luka. Tidak dengan siapa-siapa, tidak dengan ke mana, luka itu terawat sendiri bahkan terlupakan bersama waktu yang semakin beranjak. Kesedihan tertinggal setapak demi setapak, bersama mengeringnya air mata setetes demi setetes. Lalu berganti senyum, bahkan tawa, hingga berubah seperti kini. Seperti Ifah yang kini! Ifah tanpa masa lalu tentang Wilo.
Kalaupun kuakui, aku terluka lagi kini. Tak akan membuatku menangis. Wilo bahkan tak boleh tahu jika kemarin aku terluka. Yang dia harus tahu, aku tertawa bahkan melompat kegirangan saat berhasil mengusirnya dari hatiku.
“Kamu kurusan!” ucapnya setelah membiarkanku kembali ke masa lalu bersamanya.
“Ya, mungkin karena aku terlalu berambisi kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dengan Fakultas Kedokteran, pula. Apalagi saat ambisi itu terkabul, aku masih punya banyak mimpi. Aktif di organisasi, misalnya. Entah kenapa, aku merasa semakin sempurna dengan keadaanku saat berorasi di depan teman mahasiswa,” Panjang lebar aku bicara, demi menutupi keadaan yang sebenarnya terjadi sejak kepergiannya.
“Jadi bukan karena menyesal telah mencampakkanku?”
Aku tergelak. Bahkan menggeleng lantang meski hatiku merasa terpojok, seperti kedapatan nyolong dengan barang bukti di tangan.
“Wilo! Kalau aku menyesal karena telah mencampakkanmu, aku bisa aja kembali. Kapan aja, termasuk sekarang. Karena kutahu kamu akan terus mengharapku. Jadi buat apa aku rela berkurus-kurus hanya untuk menyesalinya.”
Aku tak berani menatapnya saat kalimat barusan kuucap. Kalimat yang telah menganggapnya sebagai cowok yang tak punya harga apa-apa, tak berarti sedikit pun. Padahal, begitu banyak cewek yang hanya mampu menelan ludah saat berangan memiliki Wilo yang cakep. Cewek harus punya plus tersendiri untuk bisa mendekati Wilo. Terutama karena Wilo sedikit dingin, bahkan berkesan berwibawa di permukaan.
“Terima kasih jika kamu mengerti bahwa aku masih mencintaimu hingga kini.”
Terhempas hatiku oleh badai tiba-tiba. Kucoba menenangkan gemuruh itu. Jika tidak, aku takut malah terbujuk untuk kembali padanya. Tidak! Tolong aku, Tuhan! Ya, hati yang tadi terhempas, kini tiba-tiba bersimpuh memohon. Aku menggeleng lagi, lantang! Saat kubayangkan wajah Erin terperangah mendengar kabar bahwa aku dan Wilo jadian.
“Wilo…Wilo! Harusnya waktu yang memisahkan kita selama ini, membuatmu lupa padaku. Apa susahnya, sih? Anggap aja aku enggak pantas untukmu. Terlalu tinggi untuk kau gapai, atau apa aja yang bisa membuatmu menyerah!”
Aku mengambil langkah pergi. Tanpa pamit! Berlama-lama dengannya, malah membuat luka lama itu lebih perih dari sebelumnya. Siapa sih yang bisa jauh dari Wilo, apalagi sampai mendapatkan penggantinya. Tidak ada! Bukan buta karena cinta, tapi memang semua yang kucari ada pada diri Wilo. Sayang, bukan hanya aku yang mendambanya. Ada Erin sahabatku!
Kudengar langkahnya memburu dari belakang. Bersama kalimat-kalimatnya yang membuatku ingin berbalik memeluknya. Tapi Erin? Aku tetap melangkah, meski saat tiba di tempat parkir, saat masuk dalam rongga Avanza-ku, aku belum bisa memutar kunci kontak lalu kabur. Aku bersandar di jok, di luar dia berdiri tanpa berani masuk mobil sebelum kubukakan pintu.
Curi lirik, kulihat dia bersandar di pintu mobil. Mungkin dia yakin aku akan keluar dan menemuinya untuk bicara. Aku masih mematung. Hanya tatapanku yang kuterbangkan cepat saat dia menangkapku tengah menatapnya. Tatap yang…? Aku tak tahu, perasaan apa yang ada di balik dadaku kini. Wilo semakin cakep, lebih berwibawa! Lalu ke mana Erin?
“Erin sering mencarimu,”
Suaranya kudengar dari luar, masih bersandar di pintu mobil. Suara itu membuatku menangis. Aku telah melukai dua orang sekaligus. Wilo dan Erin! Padahal semua kulakukan demi kebahagiaan keduanya. Aku tak sanggup menyaksikan tatapan Erin hampa meski bibirnya menuturkan kalimat yang penuh luapan kegembiraan.
“Kamu jadian dengan Wilo? Apa aku bilang, dia akan lebih memilihmu. Selamat deh!”
Jika aku bukan sahabatnya, jika aku tak mengenalnya sejak di bangku SD, aku tak akan mampu membaca kesedihannya saat menuturkan kalimatnya. Padahal dia tersenyum, bahkan tertawa saat itu. Berahun-tahun aku berbagi tawa dengannya, baru kali itu kulihat tawanya hanya di bibir. Tak ada di matanya!
Aku tak berani mengakui jika aku lebih cantik dari Erin. Tapi bisa kupastikan jika Wilo menjatuhkan pilihannya padaku hanya karena Erin yang punya masa lalu hitam dalam keluarganya. Saat itu, hampir semua siswa mencemohkannya, kecuali aku dan Wilo. Erin bahkan pernah memutuskan berhenti sekolah, hanya karena tak tahan mendengar gunjingan di sekolah. Tentang papanya yang terlibat affair dengan seorang selebritis.
Perihnya lagi, sosok papanya yang sering turun tangan dalam baksos sekolah, termuat di mading karena jasanya. Berganti dengan kliping tentang affair itu. Entah siapa yang mengedarkan kliping itu, guru atau siswa. Karena setahuku, banyak guru yang mengincar posisi papa Erin sebagai kepala sekolah. Juga banyak siswa yang iri dengan kepintaran Erin.
Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu harus bagaimana, menjadi pelabuhan tangisnya, tentu saja tak cukup. Kurasakan berat mata ini memandang dukanya, tentulah lebih berat buat dia yang memikulnya. Aku ingin bebuat sesuatu untuk meringankan bebannya, tapi sekali lagi, aku tak tahu harus bagaimana.
Saat kudapatkan luka kehilangan di matanya saat aku jadian dengan Wilo barulah kusadar bahwa Wilo bisa membuatnya bahagia.
Aku ingin merasakan bagaimana perihnya saat Erin sahabatku, terkucil dari pergaulan, memendam luka karena kehilangan sosok papanya yang selalu dibangga-bangakannya. Satu-satunya cara untuk merasakan luka itu, hanya dengan membangga-banggakan Wilo lalu mencampakkannya.
Perih sekali! Saat aku harus memulai eksekusi itu. Menghina Wilo habis-habisan di depan umum, bahkan menamparnya! Bukan hanya Wilo yang tak percaya dengan perubahanku, tapi semua orang. Ifah yang manis berubah sinis, antagonis bahkan memandang rendah semua orang. Satu tujuanku, aku ingin dikucilkan! Merasakan derita Erin dulu. Dan seperti yang kuduga, Wilo melarikan cintanya ke Erin. Tujuanku pun tercapai!
Meski luka itu perih menyerang, aku tak menyesal dengan tindakan bodohku. Bukankah itu yang kuinginkan, merasakan luka yang pernah mendera sahabatku. Paling tidak, di antara kelukaan itu, aku telah merasakan diriku menjadi sahabat yang sempurna, sejati! Meski di mata semua orang, aku telah berubah sombong!
Jika ada yang tahu, betapa perihnya luka yang kurasa mungkin akan mengangkat jempol untukku! Tapi aku tak ingin itu, aku tak ingin Wilo atau siapa pun tahu. Kutakut Wilo semakin memburuku, meninggalkan Erin kembali!
“Erin ingin berbuat sesuatu untukmu. Demi mengembalikan kamu menjadi Ifah yang manis, lembut. Tidak seperti sekarang, angkuh! Tapi Erin, juga aku tak tahu harus berbuat apa. Bahkan tak mengerti, apa yang membuatmu berubah sedrastis itu.”
Entah pada menit kapan Wilo masuk ke rongga mobilku. Aku tak menyadarinya! Juga seperti tanpa sadar saat tanganku meraih handle pintu di sampingnya dan berucap kasar.
“Silakan keluar dari mobilku. Aku mau pergi!”
“Ifah! Katakan, apa yang membuatmu seperti ini…”
“Seperti apa? Inilah aku yang sebenarnya. Ifah yang tahun ini lulus masuk Kedokteran, tanpa gugup bicara di mimbar mahasiswa, bahkan bisa ganti mobil tiap hari. Dan mungkin bulan depan akan masuk dalam jajaran idola remaja, karena baru kemarin aku terjaring audisi untuk jadi bintang.
Jadi enggak cukupkah semua itu untuk kubanggakan, kusombongkan? Dan enggak cukupkah membuatmu mengerti bahwa kamu bukan levelku. Kamu pantasnya dengan Erin, puteri kepala sekolah yang terkucil karena dosa papanya?”
Berat sekali kulihat Wilo mengambil langkah turun dari mobilku. Aku ingin mengakhiri sandiwara ini. Aku tersiksa. Aku menangis! Tapi sebagai sahabat aku tak ingin melukai Erin lagi. Karena kutahu pasti, jika Wilo tahu aku terluka karena mencampakkannya, dia akan membuatku kembali bertekuk lutut di depannya. Aku tak mau itu!
Demi kamu, Erin! Bisik hatiku sambil memutar kunci kontak, lalu mengakselarasi mobilku. Melaju cepat, meninggalkan debu jalanan yang terbang mengotori wajah putih Wilo!
***


Dewi Penolong


Oleh: S. Gegge Mappangewa

SUASANA rumah sakit cukup ramai. Lalu lalang perawat dan tim medis lainnya yang berseragam putih bersih, seolah tak terlihat di mata Neno. Dia ragu pada keputusan yang sejak dari rumah tadi, telah bulat. Dia merasa telah menghianati persahabatannya dengan Hanna, jika dia melakukan apa yang kini ada di benaknya.
Persahabatan? Mungkin lebih dari itu! Neno merasa, Hanna banyak membantunya. Sejak memutuskan untuk tidak menerima bantuan apapun dari Mama dan Papanya, hidupnya bergantung pada Hanna. Mulai dari biaya makan hingga uang yang digunakannya tiap hari, semua berasal dari uang saku Hanna yang juga didapatkan dari orangtuanya yang pas-pasan pula.
Ini bulan ketiga dia membuang diri. Entah sampai kapan dia harus bertahan. Bulan depan dia harus membayar SPP. Selama ini, kalau pun uang Hanna cukup untuk hidup berdua, itu karena mereka berhemat. Selain uang untuk makan dan keperluan sekolah, tak ada biaya lain yang keluar.
Ego Neno belum juga reda. Setiap bulan saldo rekeningnya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Tapi sedikit pun dia tak ada niat untuk mengambil uang pemberian Mama dan Papanya. Dia mengecek saldo via ATM, bukan untuk tahu jumlahnya, tapi untuk memastikan bahwa Mama dan Papanya telah resmi cerai.
Saldo yang dua kali lipat itu, cukup sebagai bukti bahwa Mama dan Papanya tak bisa akur. Mama juga Papanya, mungkin kasihan pada Neno atau mungkin cuma ajang promosi agar Neno mau memilih satu di antara mereka. Mama atau Papa! Mereka berdua saling ingin membuktikan cintanya pada Neno, dengan tetap mentransfer uang untuknya. Sayang sekali, Neno tak butuh itu. Dia ingin buktikan pada Mama dan Papanya, jika dia akan pergi dari rumah dan tak akan kembali, juga tak butuh apapun, bila Mama dan Papanya tak rujuk kembali.
Neno merasa segalanya telah hancur. Semuanya telah terlanjur. Jadi buat apa pulang ke rumah? Hanya melukakan jika tahu yang bertahan di rumah itu, Mama atau Papanya. Saking tak inginnya berhubungan lagi dengan Mama dan Papanya, kartu teleponnya dia buang, ponsel pun dia jual untuk biaya hidup sehari-hari.
Susah memang. Apalagi saat seperti ini, kondisi tubuhnya tak fit dan dia butuh uang untuk berobat. Uang dari mana? Dari Hanna? Neno cukup mengerti jika itu terlalu memberatkan, meskipun rumah sakit yaang ditujunya bukanlah rumah sakit swasta yang biayanya bisa mencekal leher. Padahal dulu, Neno punya dokter keluarga. Tinggal telepon, dokter datang mengetuk pintu. Sekarang? Dia masih ragu di antara keramaian rumah sakit.
Semalam dia mendapatkan kartu identitas berobat milik Hanna. Tanpa sengaja. Saat dia asyik membersihkan laci meja belajar dari kertas-kertas yang tak berguna. Tinggal di kamar kos adalah hal yang baru buat Neno, makanya setiap hari dia mencari kesibukan meskipun itu hanya dengan membersihkan kamar.
“Ini kartu berobat kamu, Han?”
Hanna merenung lama sebelum menjawab pertanyaan itu. Itu pun dengan anggukan.
“Aku pinjam ya? Akhir-akhir ini maag-ku kambuh. Pakai kartu ini, aku bisa bebas dari biaya adminitrasi. Lagian dokter nggak mungkin tahu kalau aku menyalahgunakan kartu orang lain. ”
“Ja…jangan! Kartu itu sudah kadaluarsa. Mak…maksudku nggak terpakai lagi.”
Neno tentu saja heran dengan kegugupan Hanna. Selama ini, barang apapun milik Hanna, bebas dia pakai.
“Kalau cuma maag, nggak usah ke rumah sakit. Cukup makan teratur. Atau paling juga sembuh dengan minum obat yang beredar di apotek. Usahakan jangan terlalu banyak mikir! Tau nggak, stress bisa bikin maag kambuh?” lanjut Hanna lagi.
Neno tak berucap apa-apa lagi. Dia bahkan tak curiga sedikit pun dengan kegugupan Hanna.
Tapi tadi, saat Hanna keluar dan maag-nya kambuh lagi. Dia nekat membawa lari kartu berobat itu. Satu hal yang tak bisa dilakukan Neno selama memisahkan diri dari orangtuanya, adalah minum obat yang bukan resep dokter. Pikirnya, Hanna tak akan marah hanya karena persoalan dia melanggar larangannya untuk tidak memakai kartu berobat itu.
Kini, setelah tiba di rumah sakit, di antara perih lambungnya, dia tiba-tiba berpikir jika apa yang dilakukannya kini adalah bukti pengkhianatan. Dan dia tak ingin itu. Dia tak mungkin mengkhianati Hanna yang telah memberinya tumpangan hidup. Padahal kalau dilihat dari segi ekonomi, Hanna bukanlah orang yang pantas untuk menerima dan mau menghidupinya untuk jangka waktu yang tak tentu. Hanya kebaikan hati-lah yang membuat Hanna punya kesempatan berbuat baik, untuk menolong!
Hanna juga tahu jika Neno punya uang di bank, hasil transfer dari Mama dan Papanya. Tapi dia tak menginginkan apalagi menuntut Neno untuk membuang egonya, lalu menerima bantuan Mama dan Papanya. Bahkan bukan hanya sekali, Hanna menceramahi Neno agar tak menyimpan dendam pada Mama dan Papanya.
“Aku bukan bosan ataupun nggak mau menampung kamu lagi. Aku hanya ingin kamu baikan dengan Mama dan Papa kamu. Gimanapun, mereka orangtua kamu. Mereka pasti punya alasan sehingga memilih cerai.”
Kalimat itu sering diperdengarkan Hanna. Hingga saat ini, masihlah sebatas mengalun di indera dengar Neno, dia belum bisa menanamkannya di hati.
Neno menghempas napasnya keras. Dia membalikkan tubuh dari keramaian rumah sakit. Dia ingin pulang. Membiarkan perih melilit lambungnya. Dia tak ingin mengkhianati Hanna. Dia harus meminta ijin kembali pada Hanna untuk menggunakan kartu itu. Memang kelihatannya sepele, tapi sekecil apapun persoalan, jika hati merasa dikhianati, biasanya susah diobati.
“Mungkin ada yang bisa kami bantu?” tegur seorang perawat yang dari tadi memperhatikan dia melamun.
Neno ingin menggeleng, tapi perawat itu terlanjur melihat kartu berobat di tangannya.
“Mau berobat? Sini saya bantu.”
Neno seakan tak punya daya selain dari kekuatan perawat yang menarik lengannya ke meja resepionis. Dia mengikut saja.
“Sering sakit perut, mual…” ucap Neno saat ditanya.
“Silakan antri di bagian gastroentritis. Dari sini lurus, tepat di ujung koridor, belok kiri!” jelas perawat yang bertugas di meja resepsionis sambil menyerahkan nomor antrian.
“Terima kasih!” ucapnya pada resepsionis, juga pada perawat yng mengantarnyaa barusan.
Sebenarnya Neno ingin mengambil jalan lain untuk pulang ke rumah, tapi tepat di ruangan gastroentritis, nomor antriannya langsung disebut dan dipersilakan masuk. Neno menurut saja.
Selesai membayar uang pemeriksaan yang tak sampai sepuluh ribu, dia masuk menemui dokter yang bertugas. Senyum ramah dokter itu sedikit mnghapus kerinduan pada Mama dan Papanya yang biasa mengeluarkan uang ratusan ribu untuk penyakit maag-nya. Kini…? Tak sampai sepuluh ribu! Itu pun berat buatnya dan harus menyalahgunakan kartu Hanna demi menghindar dari biaya adminitrasi pembuatan kartu.
“Hanna?”
“Iya, Dok!” Neno mengangguk tegas meski dokter mengerutkan kening seolah tahu bahwa dia bukan pemilik kartu yang sebenarnya.
“Maaf, saya nggak hapal dengan semua pasienku.”
Dari buku pemeriksaan Neno mengintip jika Hanna pernah berobat di ruangan ini. Itu berarti, Hanna juga punya keluhan pada lambung dan usus. Dia mulai menyadari kebodohannya. Mengapa dia tak pernah berpikir jika bisa saja dokter mengenali Hanna jika sering berobat di rumah sakit ini, apalagi di bagian gastroentritis ini.
“Maag-ku semakin parah, Dok.” keluh Neno cemas.
Dokter menatapnya tajam. Nyali Neno berkerut. Pikirnya lagi, masih menyesali kebodohan, bukan tak mungkin Hanna yang cantik, meninggalkan kesan di hati dokter muda yang kini menatapnya. Jadi mustahil untuk membohonginya jika dia adalah Hanna.
“Jadi kamu masih yakin jika penyakit kamu itu maag? Tiga bulan yang lalu saya sudah bilang, gejala yang kamu rasakan kemungkinan besar bukan maag tapi gagal ginjal.”
Neno tentu saja kaget mendengar semua itu. Hanna ternyata masih menyimpan rahasia untuknya. Apa untungnya? Harusnya Hanna berterus terang agar dia bisa membantunya mencari solusi.
“Tiga bulan lalu, saya konsul kamu ke ahli bedah, karena saya yakin ginjal kamu sudah rusak parah. Tidak semua sakit perut adalah gejala maag. Saya tahu kamu tak punya uang banyak, aku bahkan meminta teman di bagian bedah untuk nggak membebani kamu uang check up. Tapi kamu nggak pernah check up ke sana.
Lagi pula, jika kamu positif gagal ginjal, pihak rumah sakit memberi keringanan bahkan gratis berobat bagi keluarga yang tidak mampu seperti kamu, asal punya surat pengantar dari RT setempat. Kamu masih mau hidup, kan? Jika benar ginjal kamu yang rusak, dan sejak tiga bulan lalu kamu biarkan begitu saja, kamu nggak punya banyak kesempatan lagi…”
Air mata Neno mengalir. Tak pernah dia sangka, jika sahabat yang telah menyelamatkannya selama ini, ternyata lebih butuh uluran tangan. Terjawab sudah mengapa Hanna tak ingin meminjamkan kartu identitas berobatnya. Hanna menyimpan rahasia hidup yang tak ingin seorang pun tahu, hingga hidupnya berakhir sekali pun.
***
“Kamu mulai nggak jujur, No.” serang Hanna saat Neno telah berdiri di ambang pintu kamar kosnya.
Tak mendapatkan kartu berobatnya di laci meja belajar, membuat Hanna yakin jika Neno tak mengindahkan larangannya untuk tidak memakai barang miliknya itu.
“Terlebih kamu, Han. Kamu bahkan membiarkan dirimu menderita sendiri, tanpa mau membaginya…”
“Ja...jadi…”
“Kalau kamu nggak ingin membagi keluhmu untukku, mengapa kamu mau mendengarku mengeluh, menolongku, padahal kamu sendiri lebih membutuhkan?” Suara Neno meninggi.
Hanna yang tadi kecewa dan emosi pada sikap Neno, sepertinya sibuk mencari alasan.
“Kamu nggak tahu…”
“Aku tahu kamu nggak punya uang, Hanna. Aku datang mengeluh dan minta bantuan padamu, bukan karena aku menganggap kamu anak orang kaya yang bisa menyelamatkanku, tapi karena aku tahu bahwa kamu mau menolong siapa pun…”
“Neno…”
“Han,” Neno tak memberi kesempatan. “Jika kamu bisa menolongku, meski kamu dalam keadaan susah, mengapa aku nggak? Mengapa kamu meragukanku?”
Neno terdiam sesaat. Memberi kesempatan air matanya untuk turun, tapi tak mmberi kesempatan Hanna untuk bicara.
“Selama ini aku egois, nggak bisa menerima keputusan cerai Mama dan Papaku. Tapi sekarang nggak. Penyakit maag membuatku insyaf, terjaga. Bahwa sebagai anak, aku nggak mungkin melepaskan diri dari orangtuaku.”
Neno mengeluarkan kantongan hitam berisi uang yang baru saja ditariknya dari ATM. Hanna tercengang menyaksikan itu. Dia tak pernah menyangka, Neno akan membuang harga dirinya, melepas egonya untuk tidak menerima bantuan Mama dan Papanya, hanya karena dia.
“Kamu harus sembuh, Hanna. Ini baru sebagian dari saldo di rekeningku. Aku nggak mau kehilangan kamu. Jika masih kurang, aku nggak akan berpikir dua kali untuk menelpon Mama dan Papaku. Aku nggak mau mempertahankan ego, lalu membiarkan seorang sahabat sepertimu pergi dariku.”
Hanna membatu. Pelukan Neno pun seolah tak kuasa dibalasnya. Selama ini, Hanna menyembunyikan penyakitnya karena tak ingin menyusahkan orang lain, termasuk Mama dan Papanya di kampung. Dia tak pernah protes, mengapa Tuhan mengirimkan penyakit untuknya. Dia bahkan yakin jika itu cara Tuhan untuk memintanya berbuat baik tanpa mengharap pamrih.
Tapi kini, seorang dewi yang baru saja dia bantu mengepakkan sayap patahnya, mengulurkan tangan untuk menolong. Dia terharu, ingin menolak. Tapi dewi penolong itu mengajaknya untuk terbang bersama. Disadarinya, setiap orang berkesempatan menolong, asalkan punya hati yang tulus. Dan hanya hati tuluslah yang akan dibayar pamrih, jika bukan sekarang, Maha Penolong menjanjikan sebuah hari pembalasan.***

Kado Termahal


Oleh: S. Gegge Mappangewa
Kecelakaan pagi itu, membuatku kehilangan segala harapan. Jika tak sedih melihat mama yang selalu murung, SMA-ku bahkan tak ingin kuselesaikan. Saya benar-benar tak bisa melangkah, di atas kursi rodaku. Seolah semua orang yang melihatku, mencibir dan menertawai.


INI bulan kedua, saya menunggu kedatangan Benny. Suratnya yang terakhir, tiga bulan lalu, bercerita tentang rencana kepulangannya dari Jepang. Untuk menemuiku. Tentu saja dengan janji memberi kado untukku.
Ada kebohongan yang kusimpan rapi, katanya. Dia selalu dihantui mimpi buruk tentangku. Lalu kenapa dia tak juga pulang hingga kini? Mungkin saja dia telah tahu, kebohongan yang memang selalu tersembunyi rapi untuknya. Saya tak pernah bisa mengungkap kebohongan itu dalam suratku, meski seribu sinyal telah diterima Benny sebagai kecurigaan.
Mengapa kamu tak pernah balas emailku, mengapa harus via surat, sebegitu sibukkah kamu hingga tak bisa menyempatkan diri ke warnet? Dan seribu tanya lagi, yang hanya bisa kujawab dengan diam. Saya tak ingin menjadi beban pikiran Benny. Saya tahu betul, bagaimana besar perhatian Benny terhadapku. Begitu pun saya padanya. Sebagai sahabat, kami memang telah menunjukkan kesetiaan masing-masing.
Untuk pertama kalinya, kudengar suara Benny terisak lewat telepon, saat dengan terpaksa saya harus mengundurkan diri untuk pertukaran pelajar ke Jepang. Saya ingin sekali melihat air matanya, tapi sungguhlah tak mungkin. Pihak kedutaan Jepang, langsung mengkarantinakan Benny, setelah menyelesaikan interview dan tes tertulisnya, saat itu.
Tes saat itu sebenarnya, cukup bergengsi. Dari ratusan peserta yang ikut tes dari awal, hanya saya dan Benny yang lolos, dan itu hanya akan dipilih satu orang.
“Saya yakin kamu yang akan berangkat, Radar!” ucapnya semalam sebelum ikut tes.
“Dengan alasan apa?”
“Kamu satu level di atasku, di kursus Bahasa Jepang. Pengenalan Kanji-mu hampir menyamai orang Jepang asli.”
“Kamu juga nggak mungkin lolos hingga seleksi akhir, jika nggak ada yang istimewa dari kamu.”
Dia terdiam. Malam itu, dia gelisah sekali. Sangat! Saya bahkan menyalakan AC kamar, karena kupikir dia sedang kepenatan. Hanya semenit AC berhembus, dia mematikannya. Gelisahnya tak juga padam. Semakin menjadi. Bahkan sesekali kulihat tatapannya, menancap ke arahku, lalu terbang liar saat tatapan itu kubalas dengan diam.
Saya bisa mengerti. Benny adalah tumpuan harapan orangtuanya. Satu-satunya! Adik-adiknya yang masih kecil, masih butuh perjalanan panjang, untuk mencapai cita-citanya. Benny sendiri pun, sebenarnya terancam tak bisa kuliah setelah lepas SMA. Papanya yang hanya Pegawai Negeri Sipil, tak bisa berbuat banyak, karena mamanya yang sakit-sakitan.
Ikut pertukaran pelajar, adalah jalan alternatif untuk mengurangi sedikit beban orangtuanya. Apalagi, jika dianggap sukses, proyek pertukaran pelajar itu, dilanjutkan dengan pemberian beasiswa, untuk melanjutkan kuliah gratis di Jepang. Tentu saja, Benny semakin menggila. Cita-citanya untuk kuliah di Teknik Mesin, sedikit menemui celah.
Tapi salahkah saya, bila datang menutup celah itu? Menjadi saingan tunggalnya di program pertukaran pelajar itu? Orangtuaku memang mampu membiayai kuliahku, tapi adalah kebanggaan tersendiri yang akan kupersembahkan sebagai anak kepada orangtuanya, jika saya berhasil ke Jepang.
Apalagi, orang-orang di sekitar telah menganggap keluarga kami, sebagai keluarga berantakan. Kak Intan yang bulan lalu masuk penjara karena terbukti sebagai pengguna dan pengedar drugs. Kak Farid yang kerjanya ikut balapan liar, mabuk dan terkadang tak pulang dalam sebulan. Di rumah, hanya ada saya. Belajar dan belajar, untuk membuktikan pada mama dan papa, bahwa masih ada saya yang bisa dia banggakan pada orang lain.
“Saya pulang dulu, Radar,” ucapnya. Masih gelisah.
“Tengah malam gini?”
Dia mengangguk. Gugup! Tatapannya masih menyapu sekilas di wajahku, saat dia menyerahkan STNK dan kunci motorku, yang tadi siang dipinjamnya.
“Motormu udah kumasukkan di garasi,” katanya sambil berlalu pergi.
“Sampai jumpa besok, di tempat tes.”
Langkahnya terhenti. Berbalik ke arahku, lalu mengangguk sekali. Ada kesan lirih dalam anggukan itu.
Sepulangnya, gelisah Benny, menular ke jiwaku. Saya tak bisa tidur. Di benakku, ada Benny yang akan tersenyum, meski harus terluka dengan kemenanganku besok. Seperti halnya Benny, saya juga merasa yakin bahwa saya-lah yang akan berangkat ke Jepang, mengikuti pertukaran pelajar itu. Dan Benny akan, tertinggal, bahkan tak bisa melanjutkan kuliah tahun depan setelah lulus SMA.
Saya harus mengalah! Itu yang akhirnya menjadi obat penenang jiwaku. Tak ada lagi gelisah. Saya masih punya banyak kesempatan untuk membuktikan pada orang lain, juga pada mama dan papa, bahwa saya lain dari Kak Intan ataupun Kak Farid, yang hanya bisa memberi kesusahan.
Besok pagi, saya akan sengaja terlambat ke tempat tes. Saya tahu betul, etos kerja orang Jepang, yang seolah mendewakan waktu, hingga tak senang dengan orang yang tak menghargai detak jarum detik. Ini adalah keputusan. Tak boleh berubah. Bujukku pada batinku sendiri, yang masih berat untuk menerima keputusan itu.
Besok paginya. Rencana keterlambatanku, berjalan lancar. Saya bahkan tak pernah lagi melihat wajah Benny, hingga saat ini. Saya tak pernah tiba di tempat tes. Saya tiba-tiba terkurung di dunia sepi ini. Dunia sebatas langkah gelindingan ban kursi rodaku.
Kecelakaan pagi itu, membuatku kehilangan segala harapan. Jika tak sedih melihat mama yang selalu murung, SMA-ku bahkan tak ingin kuselesaikan. Saya benar-benar tak bisa melangkah, di atas kursi rodaku. Seolah semua orang yang melihatku, mencibir dan menertawai.
“Radar, kenapa kamu nggak ikut tes? Kamu nggak apa-apa, kan? Panitia pertukaran pelajar, bekerjasama dengan pihak sekolahku, sepakat untuk langsung menerbangkanku ke Jakarta sekarang juga, untuk ikut pelatihan, bersama peserta dari provinsi lain.”
Kalimat Benny itu, kudengar saat saya masih terbaring di rumah sakit.
“Saya menabrak truk yang melintasi cepat dari arah berlawanan,” ucapku setegar mungkin, agar dia tak gelisah memikirkanku. ”Tapi nggak terlalu parah,” lanjutku dengan air mata yang menitik, saat seorang perawat datang membawakan kursi roda untuk tubuhku yang sebelah tungkai kakinya telah diamputasi.
Tak ada kalimat dari Benny. Bisu. Entah siapa, saya atau dia yang duluan meletakkan horn telepon. Hingga saat itu, saya kehilangan asa. Trauma. Motor yang kupakai saat kecelakaan pun, kurelakan jadi besi tua di kantor polisi.
Tapi mengapa Benny tak juga datang, hingga kini? Saya ingin melihat dia menangis melihat keadaanku. Padanya, saya akan berbagi duka tanpa ragu dia akan menertawaiku. Untuknya, saya akan persembahkan kado termahal, yakni kesediaanku untuk mengalah saat ikut seleksi pertukaran pelajar dulu. Meski akhirnya nasib buruk memaksaku untuk harus tetap tinggal di Makassar.
***
Saya mulai jenuh menunggu kedatangan Benny. Berlembar-lembar suratnya, yang bercerita tentang Negeri Sakura, telah berkali-kali kubaca. Demi sedikit mengobati rinduku yang memuncak sejak dua bulan lalu. Sejak dia berjanji akan pulang di liburan musim dingin.
“Betul ini rumah Pak Galang Wijaya?”
Saya mengangguk lemah. Polisi datang lagi ke rumah. Tetangga pasti pada mencibir lagi. Jangan-jangan Kak Farid lagi yang membuat masalah di luar, dan harus berurusan dengan polisi. Untung saja, mama dan papa, tak ada di rumah. Saya kasihan melihat mama yang seolah trauma dengan polisi. Harapanku untuk membuat dia tersenyum bangga dengan kesuksesanku, harus berakhir kecewa di atas kursi roda.
Kedua polisi itu mengamati kursi rodaku, juga kakiku yang tak sama panjang. Saya jadi tersinggung dengan tatapan itu. Tapi saya bisanya apa? Rasa tak percaya diriku, kumat lagi.
“Atau kamu putra Pak Galang yang kecelakaan beberapa bulan lalu. Radar?”
Saya mengangguk.
“Kami yang menangani masalah Adik.”
“Masalah apa? Papa telah menyelesaikan semua kewajiban mengenai peristiwa kecelakaan itu. Tentang motorku yang belum juga diambil, saya yang melarangnya…”
“Itulah masalahnya,” salah seorang dari polisi itu, langsung memotong kalimatku. “Dari penyelidikan kami, motor yang Adik pakai, sebelumnya sengaja dirusak dengan memutuskan tali rem. Peristiwa itu bukan murni kecelakaan, ada seseorang yang mendalanginya.”
Dadaku berdebar tak karuan. Bayangan Benny yang selalu hadir sebagai sahabat sejati untukku, kini hadir sebagai malaikat maut. Inikah jawaban dari gelisahnya, semalam sebelum kejadian itu? Inikah alamat dari firasat buruk yang selalu kuterka dari tatapannya? Inikah gunanya sahabat? Kesedihan menjalar bebas masuk ke relung hatiku. Ini sedih yang terdalam, luka yang terperih. Lebih dalam dan jauh lebih perih, dibanding saat pertama kutahu, sebelah tungkai kakiku telah teramputasi.
“Papa dan mama saya nggak ada di rumah,” ucapku lalu langsung berbalik dengan kursi rodaku.
Ada perih mengiris, saat mataku terhalang kabut, memandangi kursi roda yang kutumpangi. Kursi roda ini, kado termahal dari seorang sahabat bernama Benny. Kado ini takkan kulupa, diberikan padaku demi kebahagiaannya. Lebih mahal dari harga kematian.
Harga mati untuk takdirku. ***

Cerita pagi


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Mata Imah terbelalak. Terlebih saat ceritaku berlanjut tentang Mama Denny, tanteku, adik ibuku! Yang seolah tak ingin memandang ke arahku. Mama yang berkunjung ke rumahnya, disangkanya buat ngutang karena tiba saatnya untuk bayar uang sekolahku. Aku yang berkunjung ke sana, dipikirnya minta baju bekas yang mungkin sudah tak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka.
MASIH pagi. Perasaan aku baru memejamkan mata semenit, setelah bangun shalat subuh tadi. Aku bahkan tertidur dengan mukenah yang masih melekat di tubuhku. Biasanya suara gaduh terdengar di pondokan ini, setelah lewat dari jam enam. Tapi kini, pintuku telah diketuk perlahan awalnya, lalu digedor keras.
“Assalamualaikum! Selamat pagi!” teriak suara itu dari luar.
Aku kenal betul suara itu. Milik Imah, penghuni pondokan yang paling ribut, paling seksi, paling lucu, dan entah paling apalagi. Pagi-pagi begini mau apa, ya? Aku bahkan menutup kupingku dengan guling. Gedoran itu semakin tak wajar. Ada lagi yang paling khas dari diri Imah, dia selalu merasa punya ide yang heboh. Jangan-jangan pagi ini dia ingin unjuk kebolehan dengan ide hebohnya yang terbaru.
Terpaksa aku bangun. Padahal tidur pagi kali ini amat kubutuhkan sebagai suplemen, semalam tidurku agak larut malam karena PR Fisika-ku yang tumben tak bisa kuselesaikan cepat.
“Selamat pagi,” ributnya setelah kubukakan pintu kamar. “Aku dari Ketok Pintu, acara reality show paling berani! Bisa ya, aku masuk?” lanjutnya dengan gaya host sebuah acara reality show, yang selalu “mengobrak-abrik” kamar selebritis.
Buset! Betul-betul cuma iseng, tak ada keperluan apapun! Aku cuma nyengir, lalu kembali membuang tubuhku di tempat tidur.
“Pemirsa, aku udah berhasil masuk ke kamar Lely. Yuk, kita lihat setiap penjuru kamar bintang sinetron yang lagi naik pohon ini, eh naik daun,”
“Nggak lucu!” ketusku sambil menutup telinga dengan guling.
Imah tetap beraksi. Kudengar dia ceplas-ceplos, menerangkan seluruh isi kamarku. Mulai dari meja belajar yang berdampingan dengan lemari pakaian yang katanya, terlalu kecil untuk siswa SMA sepertiku. Meski kesal, aku kagum juga dengan ceplas-ceplosnya yang persis dengan presenter Okky Lukman.
“Pemirsa di rumah, mau tahu apa aja isi lemari Lely? Yuk, kita buka!”
Kudengar engsel pintu lemariku berderit. Tapi aku belum juga menggubrisnya. Toh, tak ada barang rahasia di dalamnya.
“Woooww…!” Tiba-tiba dia berteriak. Memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur. Dompetku sudah ada berada di tangannya.
“Jangan dibuka, Mah!”
“Ternyata isinya, ada kartu perpustakaan sekolah, kartu perpustakaan wilayah, kartu member taman bacaan. Nggak salah deh kalo Si Lely ini jadi bintang pelajar tiap tahunnya. Tapi jangan salah, kartu ATM tetap ada lho!”
Aku tak bisa menghalangi aksinya, dia selalu berhasil menghindar setiap aku mendekat untuk mengambil dompetku.
“Dan pemirsa di rumah,” ucapnya seolah menghadap ke sebuah kamera. “Ternyata Lely bintang pelajar kita ini, fans berat sama Denny. Itu lho, pendatang baru di dunia sinetron.” lanjutnya sambil memperlihatkan foto Denny yang memang sengaja kusimpan di dompetku.
Melihat foto Denny, air mataku tiba-tiba meluruh begitu saja. Imah langsung menghentikan aksinya. Bahkan mendekat ke arahku dengan wajah yang menampakkan penyesalan yang mendalam.
“Sori, Ly! Aku cuma main-main. Nggak bermaksud melanggar privacy kamu. Lagian, nge-fans sama Denny, menurutku hal yang wajar. Denny bintang sinetron, cakep, tajir. Yang nggak wajar, kalau orang seperti kita ini mimpi jadi pacarnya, atau malah teman dekatnya!”
Aku menghapus air mataku. Mengambil dompetku dari tangan Imah.
“Kamu mau maafin aku kan?”
Imah tak punya salah, aku yang terlalu cengeng mungkin. Tapi aku janji, ini air mata terakhirku untuk Denny. Meski aku juga merasa punya quantum semangat beberapa kali lipat, setiap habis melihat foto Denny.
“Jujur, akhir-akhir ini aku ingin dekat sama kamu, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya,” ungkapnya lagi.
Aku bisa mengerti, jika Imah ataupun teman kostku yang lain tak punya banyak waktu untuk bersamaku. Hampir seluruh waktuku yang di luar jam sekolah, kuhabiskan bersama buku-buku pelajaranku. Aku tak punya waktu untuk ngerumpi, apalagi nongkrong di teras untuk cuci mata setiap ada cowok lewat. Aku selalu merasa lebih aman di kamar sendiri.
Untungnya sikap dinginku itu tidak diartikan negatif teman-teman. Mungkin karena aku tetap menyempatkan diri untuk senyum, menyapa, bahkan dengan senang hati membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Jadi tidak sedikit pun ada kesan sombong yang kutampakkan, dan memang aku bukan orang seperti itu. Aku bahkan membenci orang-orang yang merasa dirinya punya segala-galanya, lalu menyombongkan diri.
Apalagi, alasanku cukup meyakinkan, aku harus belajar. Lebih banyak belajar! Dan alasan itu punya hasil yang memuaskan, medali bintang pelajar tetap bisa kupertahankan.
“Ly, boleh kan aku curhat ke kamu?”
Belum juga kuiyakan permintaannya, dia sudah bertutur panjang. Mulai dari cowoknya yang tiba-tiba minta putus, hingga hubungan mama-papanya, yang sedang kacau.
“Di rumah nggak ada kedamaian, Ly! Kamu mungkin nggak tahu, aku ngekost di sini, bukan untuk hemat biaya transpor atau karena jauh dari kampung. Aku orang Jakarta asli. Rumahku di Pondok Indah. Aku ngekost di sini, karena ingin lebih dekat dengan orang lain. Punya banyak teman. Ingin berbagi!”
Aku mungkin terlalu egois selama ini. Tak pernah mau berpikir tentang orang sekitarku. Tanpa kusadari, Imah butuh teman dan selama ini aku lebih akrab dengaan diriku sendiri, dengan permasalahanku sendiri, tanpa pernah berniat untuk membaginya, ataupun meminta orang untuk membagi kesedihannya padaku.
Aku terjaga kini, menerima kesedihan orang lain, bukan menambah beban tapi justru meringankan karena ternyata menyadarkanku bahwa semua orang punya masalah. Aku ingin meraih pundak Imah, untuk berbagi, tapi suara dari luar kamar meneriakkan namaku. Aku dapat telpon dari Denny.
“Denny siapa, Ly!”
“Denny bintang sinetron itu,” ucapku santai.
“Dia nelpon kamu?” tanyanya heran.
Aku mengangguk, lalu berlari keluar, meninggalkan dia dalam keadaan bingung. Aku memang tak pernah cerita tentang Denny. Aku masih lebih suka menyimpannya sendiri, dan menyimpannya sebagai semangat untukku.
“Ada perlu apa Denny nelpon kamu?” tanyanya saat aku pulang dari menerima telepon.
“Dia ngajak aku buat temanin belanja. Adiknya yang cewek, yang baru aja lolos audisi jadi penyanyi beken, juga ikut!”
“Kalian akrab?” Imah semakin bingung.
Akrab? Aku juga bingung mau jawab apa. Haruskah aku jujur tentang Denny? Harusnya begitu, Imah baru saja menceritakan masalahnya untukku, kini giliranku.
“Denny itu saudara sepupuku….”
Mata Imah terbelalak. Terlebih saat ceritaku berlanjut tentang Mama Denny, tanteku, adik ibuku! Yang seolah tak ingin memandang ke arahku. Mama yang berkunjung ke rumahnya, disangkanya buat ngutang karena tiba saatnya untuk bayar uang sekolahku. Aku yang berkunjung ke sana, dipikirnya minta baju bekas yang mungkin sudah tak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka.

“Tapi kok, Denny dan adiknya menelpon kamu untuk menemaninya belanja?”
“Karena mereka mau memperlihatkan bagaimana bebasnya mereka memakai uang.”
Bukan sekali aku diajak untuk menemani mereka belanja. Tidak tanggung-tanggung, mereka beli baju lima pasang saat kutemani belanja. Tidak pernah sekali pun menawarkan sepasang untukku, meskipun sebenarnya aku tidak berminat. Sebagai upah menemani jalan, aku terkadang dibekali roti bakar yang dibelinya di kaki lima. Seolah menurutnya, sepupu dengan mereka yang selebritis, sudah anugerah besar untukku.
“Tapi kenapa kamu mau menyimpan foto Denny dalam dompetmu?”
Bukan untuk kubanggakan, bahwa aku ini sepupunya. Tapi untuk memberiku semangat. Setiap melihat fotonya, aku selalu terpacu untuk menjadi yang terbaik. Aku tak boleh terus-terusan dianggapnya sampah. Aku harus mengangkat diriku sendiri! Aku yakin, untuk menjadi orang yang dibanggakan, diidolakan, tidak harus dengan menjadi selebritis.
Imah manggut-manggut. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat meninggalkan kamarku. Tapi tak lama kemudian, dia datang lagi.
“Aku pamit dulu, Ly! Aku tiba-tiba rindu pada Mama dan Papaku. Aku nggak boleh lari dari masalah. Aku harus punya semangat untuk menghadapinya, menyelesaikannya! Aku bangga pada kamu, Lily. Aku mengidolakanmu!” ucapnya dalam pelukku. Menangis!
Aku ikut menangis. Mungkin aku telah menjelek-jelekkan Denny, tapi itulah yang terjadi, itulah yang dia perlakukan untukku. Kusimpan menjadi obat pemacu semangat. Tanpa dendam, tanpa benci!***


;;

By :
Free Blog Templates