Rabu, 03 Juni 2009

simpan untukmu sendiri



SIMPAN UNTUKMU SENDIRI
Oleh: S. Gegge Mappangewa

SETIAP ke rumah Andien, benakku selalu dilumuti tanya. Tanya yang kusimpan sendiri karena tak ingin, juga takut jika setiap pertanyaanku berkesan menyelidik. Barang-barang mewah, foto keluarga, dan juga rumah megah, seolah sebuah jejak sidik masa lalu Andien.
Andien yang di sekolah periang, seolah tanpa beban apa pun, tapi setiap kudapatkan di rumah, dia tak lebih hanyalah mayat hidup. Kalau pun tertawa atau melayaniku cerita, itu tak lebih hanya peran yang harus dilakonkannya sebagai tuan rumah.
syukur, setahun berteman dengannya, aku sudah bisa menemukan satu jawaban dari seribu pertanyaan yang selalu hadir di benakku. jawaban itu diperdengarkan untukku tanpa kuminta. Mungkin curiga jika setiap kunjunganku berkesan cari tahu, akhirnya dia buka mulut jika rumah yang ditempatinya, cuma rumah kontrakan!
“Rumah kontrakan?”
Mataku terbelelak. Jelas saja aku heran, cewek seusia Andien. Kelas satu SMA! Memilih rumah kontrakan semegah ini? Taman yang luas, dua lantai, ruang tamu dipajangi foto keluarga, peralatan dapur yang komplit! Apa nggak sebaiknya, cukup dengan tinggal di tempat kost dengan kamar yang luas, lalu dipasangkan AC, plus home theater jika perlu! Daripada harus pilih rumah yang lebih cocok untuk orang berkeluarga seperti ini.
“Mama yang menginginkan ini, Ririn!” ucapnya saat membaca keherananku.
“Tapi kamu nggak takut tinggal sendiri di rumah luas seperti ini, kenapa nggak sekalian cari pembantu untuk membantumu merawatnya?”
Dia menggeleng pelan. Lalu bercerita jika sejak kecil dia ditempa menjadi cewek yang mandiri. Masa SD pun nggak pernah merepotkan harus diantar dan dijemput dari sekolah. Dia berangkat dengan tukang becak langganannya. Pernah tukang becak langganannya berhalangan, tanpa takut dia ikut menunggu di halte. Bertanya pada semua orang trayek bis menuju rumahnya.
Mendengar semua itu, giliranku menggeleng tak percaya. Aku pikir dia mengada-ada. Tapi pikiran salahku itu cepat dibenarkan oleh kenyataan yang kulihat selama ini. Andien yang bisa memimpin ratusan siswa sebagai ketua Osis, ketua panitia di setiap acara sekolah. Anehnya, sebagai pemimpin dia tak pernah mengandalkan telunjuknya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dia sendiri yang turun tangan, kalau pun harus menyuruh, kalimatnya tak lebih hanyalah permintaan. Bukan menyuruh apalagi memerintah!
Andien memang terkenal sopan. Bicara dengan teman sekolah pun, seolah berhadapan dengan guru. Bertutur sambil senyum, menunduk sesekali jika perlu!
Aku sendiri ngeri jika harus membayangkan diriku akan seperti Andien. Bukan takut tinggal sendiri di rumah semegah ini. Aku malah takut kehilangan masa yang seharusnya kunikmati. Andien yang seharusnya hanya ‘dibebankan’ oleh tugas sekolah demi mempertahankan peringkat kelas yang memang tak pernah dilepaskannya, juga harus berperan sebagai ‘ibu rumah tangga’ yang merawat rumah.
Andien seolah terkarbit. Meski usia dan wajahnya masih muda, tapi isi kepalanya terlalu tua. Pesta adalah foya-foya, menghambur uang, uang lebih baik ditabung demi keperluan mendadak daripada jalan ke mal tanpa tujuan yang jelas, dan entah prinsip apalagi yang selalu dipertahankannnya. Prinsip yang seharusnya ada pada wanita berkeluarga. Bukan pada Andien yang masih kelas satu SMA!
Meski begitu, Andien bukanlah pelit. Butuh uang berapa tinggal bilang, Andien tak pernah keberatan untuk meminjamkan. Bahkan kegiatan sosial yang diadakan sekolah pun, dia sering mengeluarkan uang pribadi untuk menambah besarnya dana yang akan disumbangkan. Ya, selama itu bukan urusan foya-foya, adalah sah-sah saja menurut Andien.
Belum sejam cerita dengannya, sebuah Nissan Terrano masuk di pekarangan.
“Mamaku datang, Rin!”
“Kamu baik-baik saja, Andien?”
Andien mengangguk! Kecupan wanita itu kemudian mendarat di kening Andien, tanpa sempat merapikan poninya dulu. Ya, tanpa sempat! Dengan langkah tergesa masuk ke dalam rumah. Dari pintu, kulihat dia masuk di kamar yang membelakangi ruang tamu. Andien membuntutinya setelah pamit sebentar denganku.
Saat pamit tadi, ada yang lain di tatapan Andien. Mungkin malu melihat perlakuan mamanya yang sedikit pun tidak menghargaiku sebagai tamu. Jangankan menyapaku, senyum pun tidak. Hanya ekor matanya yang tertuju padaku, melirik seolah mencari tahu, teman bergaul Andien seperti apa.
Tak cukup seperempat jam, Andien dan mamanya keluar. Masih dengan langkah tergesa.
“Kamu baik-baik ya, Sayang!”
Andien menerima kecupan lagi. Bukan sekali! Tubuh mungil Andien pun, didekapnya erat. Rindu di mata anak beranak itu jelas sekali kulihat. Aku berdiri menghampiri saat pelukan mereka terlerai, tapi yang kudapat hanya senyum tanda pamit. Hanya itu!
“Maaf jika mamaku kurang menganggapmu ada. Dia buru-buru sekali! Dia hanya transit di sini, pesawatnya akan berangkat lagi jam satu siang. Dia khawatir ketinggalan pesawat!”
“Memang dari mana?”
“Belum tahu, mama dan papaku tinggal di Yogya? Dia habis mengunjungi anak perusahaan yang ada di Kawasan Industri!”
Perlahan, akhirnya aku banyak tahu tentang Andien. Pikirku selama ini dia orang Makassar. Tapi entah kenapa, tetap saja ada yang mengganjal di pikiranku. Seolah Andien semakin menyembunyikan sesuatu untukku, setiap dia mengungkap cerita tentangnya.
“Itu foto waktu aku masih kelas enam SD,” ucapnya sambil mendekatiku yang sedang melihat foto keluarga yang tergantung di ruang tamu.
“Kamu anak tunggal?”
Kali ini Andien cuma mengangguk, padahal di mataku, ada yang ingin terucap di bibirnya. Saat seperti itulah aku merasa ada yang tersembunyi di balik diri Andien. Mungkin curiga aku melihat perubahan di wajahnya, dia kembali bercerita banyak tentang dirinya. Cerita yang semakin membuatku ingin tahu lebih banyak lagi tentangnya.
“Aku memang sering ingin punya saudara, tapi Mama dan Papa yang sibuk lebih mengutamakan karir. Jangankan berpikir untuk punya anak lagi, aku saja yang sudah ada seolah tak pernah terpikirkan!”
Aku menepuk bahunya. Meski tak menangis mengucap kalimat itu, kutahu ada yang tergores di balik dadanya. Menyesal juga, aku terlalu ingin tahu tentangnya.
Giliranku untuk bercerita. Memberinya semangat, memintanya bersyukur dengan keadaannya sekarang. Aku pun heran, aku tiba-tiba seperti orangtua yang menasihati anaknya, saat memintanya membuka mata jika dia masih lebih baik ditelantarkan dalam kemewahan. Ada bahkan banyak orangtua yang menelantarkan anaknya di jalanan karena memang tak punya materi untuk menyayangi mereka, atau mungkin juga memang tak ada kasih sayang. Semua harus disyukuri!
Andien menangis di pelukanku. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat berarti buat Andien. Selama ini dia selalu merasa tak butuh bantuan. Segalanya bisa diatasi sendiri. Tapi kini tangis yang disimpannya sendiri selama ini, kini dibagi untukku.
***
Seharian di mal membuatku memilih istirahat di kafe lantai dasar. Baru saja kurapatkan duduk, suara anak kecil yang kira-kira masih di bangku SD, menggelitikku untuk balik ke meja yang ada di sampingku. Sejenak mataku terpaku di meja yang dikelilingi oleh beberapa orang, termasuk anak kecil yang merengek dan memanggil papa pada lelaki yang duduk di sampingnya.
Aku tak mungkin salah lihat, meski wajahnya hanya kusaksikan di foto, aku yakin lelaki itu papa Andien. Lalu anak kecil itu, juga wanita yang dipanggilnya mama? Aku mengerutkan kening, wanita itu bukan mama Andien yang kulihat kemarin.
Aku cepat keluar sebelum memesan apa-apa di pramusaji kafe. Andien harus tahu jika papanya punya wanita simpanan. Bukan sibuk kerja seperti alasannya selama ini. Pulsaku yang habis semalam dan belum sempat kuisi ulang memaksaku mencari wartel.
Selangkah sebelum masuk wartel, mataku mendapatkan pemandangan yang semakin ‘mengerikan’. Ini pasti mimpi buruk buat Andien. Mamanya sedang berpegang pada lengan seorang lelaki seusianya. Tak hanya itu, juga seorang anak kecil berada di antara mereka. Bahkan sedang melangkah menuju kafe yang tadi ditempati papa Andien dan keluarga simpanannya.
Beginikah kesibukan mereka selama ini? Tapi kenapa harus di sini, bukankah menurut pengakuan Andien, mama dan papanya tinggal di Yogya?
Andien harus tahu, aku tak boleh membiarkan dia dibohongi terus oleh orangtuanya. Tak peduli itu melukakan buat Andien, aku tak ingin menyimpan kenyataan ini sebagai rahasia.
“Ririn!”
Belum sempat aku berbalik memenuhi panggilan itu, lenganku telah ditarik menjauh.
“Andien?”
“Kamu sudah lihat semuanya, kan? Kuharap kamu jangan bercerita pada siapa pun di sekolah. Aku malu!”
Andien tertunduk menahan tangis karena sadar jika dia sedang di tengah keramaian mal.
“Aku bukan orang Yogya! Rumah yang kutempati bukan rumah kontrakan, Ririn. Rumah itu diwariskan untukku sejak lulus SD. Diwariskan karena mama dan papa memilih cerai.”
Kutarik lengan Andien, tangisnya semakin tak bisa ditahan. Lebih tak bisa ditahannnya lagi, beban yang kini menghimpit dadanya. Saat merapatkan duduk di jok mobilku, dia langsung melanjutkan ceritanya di antara isak.
Aku seperti kehilangan konsentrasi menyetir saat mendengar semuanya. Tentang Andien yang tiap hari Minggu ke mal mencari mama dan papanya. Dia tahu sekali jika mama dan papanya sengaja ke kafe tadi, untuk saling membuktikan bahwa mama maupun papanya bisa bahagia dengan keluarga barunya.
Andien hanya bisa melihat wajah mama dan papanya dari jauh. Bersebelahan meja tanpa tegur sapa! Ya, hanya untuk memanas-manasi, saling membuktikan kebahagiaan mereka! Dan tentu saja Andien tak boleh mendekat, karena keluarga mamanya, juga keluarga papanya tak pernah mengharapkan kehadirannya.
Hanya sebulan tinggal bersama mama tirinya, papa memintanya pulang ke rumah karena selalu menjadi penyebab pertengkaran dengan isteri barunya. Mamanya lebih parah, bukannya mengajak bergabung, malah menghadiahinya rumah warisan asal tak ikut dengannya, karena suami barunya tak ingin ada Andien dalam rumah.
Semua mencari kebahagiaan sendiri sejak Andien masih kelas satu SLTP. Andien harus sendiri! Sendiri menentukan hidup, sendiri mencari bahagia. Termasuk mengintip kebahagaiaan keluarga mama dan papanya yang baru. Karena melihat mama dan papanya, dari jauh pun, adalah kebahagiaan tersendiri buat Andien.
“Semua kusimpan sendiri, Ririn! Bahkan mencari pembantu pun di rumah aku nggak mau karena nggak ingin ada yang tahu rahasia ini. Sekarang kamu terlanjur tahu. Simpan rahasia itu demi aku, Ririn! Kumohon!”
Aku tak tega membiarkannya memelas seperti itu di depanku. Aku berjanji akan tetap menjadi Ririn yang dulu. Sahabat yang tak pernah tahu apa pun tentang Andien. Akan kubiarkan dia menyimpan rahasia itu untuknya tanpa pernah menyingkapnya. Tapi tangisnya, takkan kuijinkan dia menyimpannya sendiri.
***


0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates